Opini atau Pendapat Hukum Tentang Polemik Polri vs KPK

Jakarta - Dunia hukum Indonesia kembali mendapat ujian besar ketika muncul kasus yang oleh sebagian besar tokoh dan pengamat disebut sebagai konflik antar lembaga Polri vs KPK (Buaya vs Cicak). Sehubungan dengan ditetapkannya Pimpinan KPK Non-aktif Bibit S Riyanto dan Chandra Hamzah yang akhirnya dikenakan tindakan penahanan oleh Penyidik Mabes Polri.

Reaksi keras muncul dari berbagai pihak menanggapi penahanan tersebut. Para pengamat hukum, Aktifis LSM, akademisi, praktisi hukum, politisi, dan lain-lain sebagian besar tidak menyetujui tindakan Polri tersebut, menganggap Polri telah bertindak arogan, sewenang-wenang, dan lain-lain.

Namun, sebagai seorang praktisi hukum, saya memiliki pendapat yang berbeda dari mereka. Selanjutnya saya mencoba memberika opini atau pendapat dengan penyajian menggunakan metode analisis menggabungan teori-teori dasar hukum pidana yang saya peroleh di bangku kuliah di Universitas Diponegoro Semarang, dengan praktek hukum yang pernah saya jalani atau alami sebagai seorang advokat.

1. Tentang Kriminalisasi KPK
Istilah kriminalisasi saya kenal pertama kali ketika saya mengikuti mata kuliah Hukum Pidana dan Kriminologi di bangku kuliah sekitar 13 sampai dengan 14 tahun yang lalu. Arti kriminalisasi dalam bahasa Inggris sebagaimana disebut dalam Black Law's Dictionary adalah: The Act or an instance of making a previously lawful act criminal, usu. By passing a statute.

Dari definisi di atas, dapat kita tentukan inti-inti dari kata kriminalisasi:
- Ada perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan bias yang sah/ legal/ tidak melanggar hukum.
- Adanya proses berupa kebijakan hukum/ pemerintah.
- Kebijakan tersebut menetapkan perbuatan yang sebelumnya sah/ legal/ tidak melanggar hukum menjadi sebuah perbuatan hukum yang melanggar hukum/ perbuatan pidana/ tindak pidana. Jadi kriminalisasi adalah suatu proses merubah suatu perbuatan/ tindakan yang awalnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana.

Contoh kasus: pada tahun 1980-an, membuat sumur artesis atau sumur bor bebas dilakukan oleh setiap orang. Namun, seiring dengan perkembangan dan berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa ternyata pembuatan sumur artesis secara liar tersebut dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Maka kemudian diatur bahwa setiap pembuatan sumur artesis harus dilakukan dengan izin dari instansi terkait dan berwenang dengan disertai survei dan analisis sehingga akhirnya bisa diketahui apakah permohonan itu akan dikabulkan atau tidak.

Bila kita mengacu kepada teori dan contoh kasus di atas maka tidaklah tepat apabila polemik antara Polri vs KPK disebut sebagai Kriminalisasi KPK. Oleh karena yang menjadi obyek kriminalisasi adalah TINDAKAN/ PERBUATAN, bukanlah ORANG atau BADAN HUKUM/ LEMBAGA. Sedangkan dalam kasus Polri vs KPK tersebut yang menjadi tersangka adalah 2 orang pimpinan KPK non aktif yang diduga melakukan tindak pidana yang sudah secara tegas diatur dalam KUHP dan Undang-Undang.

2. Tentang Tindakan Penahanan oleh Polri Terhadap Bibit dan Chandra
Sebagaimana diatur secara jelas dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang kemudian dijelaskan secara gambling oleh Polri dalam konferensi persnya. Polri melakukan penahanan karena telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam KUHAP, yaitu:
- Polri berwenang melakukan penahanan tersebut.
- Tindak pidana yang disangkakan diancam dengan pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun.
- Penahanan dilakukan berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Menurut pendapat saya syarat formal dan material sudah dipenuhi oleh Polri dan kemudian yang menjadi polemik adalah apakah penahanan tersebut layak/ pantas dikenakan terhadap Bibit dan Chandra? Sebelum membahas lebih lanjut saya mengingatkan adanya ketentuan dalam Sumber Konstitusional Hukum tertinggi di Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut memberikan amanat khususnya kepada aparat penegak hukum baik itu dari Polri, Kejaksaan, maupun KPK untuk melakukan tindakan hukum kepada setiap warga negara tanpa membeda-bedakan status sosial atau jabatan mereka. Apakah itu seorang rakyat biasa, pejabat, anak pejabat, anggota DPR, bahkan aparat penegak hukum. Semuanya harus diperlakukan sama ketika mereka terlibat dengan kasus pidana.

Penahanan terhadap Bibit dan Chandra tersebut sama dengan yang dilakukan terhadap para tersangka/ terdakwa lain yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun. Yang biasa dan lazim dilakukan berdasarkan KUHAP dalam menghadapi penahanan tersebut adalah meminta penangguhan penahanan yang lazimnya diajukan oleh Keluarga tersangka/ terdakwa. Atau bila penahanan tersebut dianggap tidak sah tersangka atau keluarganya atau melalui kuasa hukumnya bisa mengajukan Gugatan pra-peradilan ke pengadilan.

Kembali, dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, hendaknya yang dilakukan oleh Bibit dan Chandra dalam menghjadapi penahanan tersebut adalah sama seperti yang dilakukan oleh para tersangka/ terdakwa pada umumnya yaitu dengan meminta penangguhan penahanan atau mengajukan gugatan pra-peradilan terhadap Polri ke Pengadilan setempat.

Dalam prakteknya, dengan ditahannya tersangka/ terdakwa berdampak kepada lancarnya jalannya persidangan di Pengadilan karena biasanya sidang akan dilakukan secepat mungkin dan diusahakan bisa diputus sebelum masa penahanan yang diperbolehkan oleh KUHAP habis. Meskipun pada kenyataannya dalam praktek kerap kali terjadi kendala penundaan sidang karena berbagai macam sebab seperti misalnya majelis hakim yang tidak lengkap, Jaksa tidaks siap, terdakwa sakit, dan lain-lain.

3. Apakat Tepat Kalau Kasus Ini Disebut Sebagai Konflik Antara Lembaga Polri dan KPK
Menurut pendapat saya terlalu "sensasional" apabila ada yang menganggap demikian. Karena, faktanya Polri melakukan penyidikan yang diikuti dengan penahanan terhadap para tersangka berdasarkan adanya Laporan Polisi yang disertai dengan bukti-bukti dan petunjuk-petunjuk yang cukup. Masalah sah atau tidaknya laporan, saksi-saksi dan atau bukti-bukti, nantinya proses peradilan yang akan mengujinya.

Bila ada yang menganggap Polri bertindak sedemikian rupa karena ada kaitannya dengan dugaan keterlibatan seorang Petinggi Polri dalam Kasus Bank Century saya mengajak semua pihak untuk memberikan opini/ pendapat yang bijak dan logis. Apabila memang ternyata atas dugaan tersebut terdapat cukup bukti yang bisa menjerat para tersangkanya saya dukung lembaga yang berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus itu yaitu KPK untuk tidak ragu-ragu dalam "mengangkat" kasus tersebut sebagaimana yang pernah dilakukan oleh KPK dalam kasus penyuapan jaksa Urip oleh Artalyta.

4. Tentang Pernyataan Salah Seorang Staf Khusus Bidang Hukum Presiden Bahwa Ada yang Diragukan dalam Proses Penahanan Bibit dan Chandra
Staf Khusus Presiden tersebut meragukan dasar/ alasan Polri melakukan tindakan penahanan karena pasal-pasal yang disangkakan yang tercantum dalam SPDP (Surat Pemberitahuan Dilakukannya Penyidikan) berbeda dengan yang tercantum dalam Surat Perintah Penahanan.

Menurut saya tidak ada yang aneh dalam kejadian tersebut. Polisi yang menerima laporan dengan Polisi yang melakukan penyidikan adalah kemungkinan besar berbeda.

Dalam prakteknya, Laporan/ Pengaduan yang masuk ke Mabes Polri diterima dan dicatat oleh Petugas Piket jaga di Sentra Layanan Kepolisian Bareskrim Polri. Dalam laporan tersebut dicantumkan nama pelapor, terlapor, serta saksi-saksi dengan disertai uraian singkat mengenai tindak pidana dan dilampiri bukti-bukti permulaan yang cukup.

Berdasarkan uraian tindak pidana dalam laporan tersebut Petugas Polisi penerima laporan kemudian mencantumkan Pasal-Pasal Tindak Pidana yang disangkakan/ dikenakan kepada Terlapor. Tahap selanjutnya, laporan polisi tersebut diserahkan kepada Biro Analisis untuk dipelajari dan selanjutnya akan disimpulkan, Direktorat manakah yang berwenang melakukan penyidikan atas laporan tersebut.

Selanjutnya Penyidik dari Direktorat yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan atas Laporan Polisi tersebut membuat SPDP sebagai pemberitahuan bahwa penyidikan telah dimulai (untuk level mabes Polri maka SPDP dikirimkan ke Kejaksaan Agung). Apabila dalam proses penyidikan ternyata penyidik menemukan fakta hukum yang berbeda dari uraian yang tercantum dalam laporan Polisi, maka penyidik berwenang untuk menerapkan Pasal-Pasal yang lebih tepat berdasarkan fakta hukum untuk kepentingan penyidikan.

Bahkan, Penyidik berwenang untuk memeriksa Pihak-pihak lain yang tidak tercantum dalam Laporan Polisi. Berdasarkan ahsil penyidikan atau pengembangan penyidikan perkara tersebut. Perubahan Pasal juga bisa dilakukan atas petunjuk Jaksa atau yang dikenal dengan P. 19.

5. Perlukah Presiden Turun Tangan Menengahi Polemik Polri vs KPK Tersebut
Kasus ini adalah murni tindak pidana dan saya berharap akan ditangani di atas rel-nya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Saya mendukung sikap Presiden SBY yang tetap berada di luar atau tidak mencampuri proses hukum kasus ini.

Menurut saya, yang membuat kasus ini "besar" adalah opini-opini yang cenderung hanya mengadung sensasi yang justru malah akan memperkeruh/ memperluas kasus ini. Ada yang meminta supaya Presiden membentuk Tim Independen. Ada pula yang meminta supaya kasus ini diselesaikan secara politis.

Saya sangat tidak setuju. Terutama terhadap usul penyelesaian dilakukan secara politis, karena hukum dan politik memiliki lahan dan fungsi sendiri-sendiri dan jangan dicampur aduk. Justru apabila Presiden "campur tangan" dalam aksus ini, maka akan mencoreng dunia penegakan hukum Indonesia dan bahkan mungkin akan menjadi awal runtuhnya penegakan hukum di Indonesia karena kekuasaan Eksekutif mencampuri kekuasaan Yudikatif.

Lagi pula, apabila misalnya bila atas desakan dari Presiden atau piha-pihak lain, akhirnya kasus ini dihentikan penanganannya sebelum masuk ke tahap peradilan, adakah yang bisa menjamin bahwa tindak pidana yang dituduhkan kepada 2 orang pimpinan KPK tersebut TIDAK PERNAH ADA? Bagaimana bila setelah kasusnya dihentikan, faktanya ternyata kasus ini memang BENAR-BENAR ADA?

6. Apakah dengan Dihadapkannya Bibit dan Chandra dalam Kasus Pidana oleh Polri Akan Melemahkan KPK
Dengan tegas saya jawab TIDAK, karena yang menjadi Tersangka dalam kasus tersebut adalah 2 orang Wakil Ketua KPK non aktif, jadi yang disangka melakukan tindak pidana adalah individu, bukan Lembaga KPK. Dan Presiden pun sudah menunjuk Pelaksana Tugas (PLT) untuk menggantikan posisi/tugas mereka di KPK ketika mereka non aktif dari jabatannya.

Jadi KPK sebagai Lembaga Pemberantas Korupsi tetap bisa menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengemban amanat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Sedangkan terhadap pendapat yang mengkhawatirkan penyidikan dan penahanan terhadap Bibit dan Chandra yang kemudian disebut sebagai "Kriminalisasi" KPK tersebut akan mempengaruhi kinerja KPK dan akan membuat para penyidik KPK menjadi takut dan ragu-ragu dalam bertindak. Saya nyatakan SANGAT TIDAK SETUJU dengan pendapat tersebut.

Selama para penyidik KPK menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi dengan tetap selalu taat kepada Perundang-undangan yang berlaku. Tidak melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Tidak ada dasar/ alasan yang menjadikan mereka menjadi ragu-ragu dan takut karena selama mereka bertindak dengan benar akan selalu dilindungi oleh undang-undang.

Dan, perlu diingat bahwa KPK bukanlah satu-satunya lembaga yang berwenang menangani tindak pidana korupsi. Wewenang ini juga dimiliki oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Mari kita dukung semua lembaga tersebut supaya maju tak gentar memberantas korupsi.

Sebagai penutup saya mengajak semua pihak untuk bersikap arif dan bijaksana. Berpikir jernih dalam memberikan opini/ pendapat terhadap kasus ini. Jangan asal membuat opini/ pendapat yang hanya semata-mata membuat sensasi tanpa melihat atau memperhatikan fakta-fakta hukum yang ada, yang nantinya malah memperkeruh dan memperlebar kasus ini ke arah yang tidak menentu.

Ibaratnya rangkaian kereta api yang berjalan di atas rangkaian rel penegakan hukum dan keadilan, yang menjadi masinisnya yang mengendalikan lokomotif saat ini adalah Polri. Dan, rangkaian kereta yang gerbongnya berisikan para tersangka, para saksi,
dan lain-lain. Saat ini sudah berjalan meninggalkan Stasiun Gambir untuk menuju ke Stasiun Tegal setelah melewati Stasiun Bekasi dan Cirebon, di mana kendali lokomotifnya nantinya akan dilimpahkan ke Kejaksaan di Stasiun Tegal.

Kendali atas lokomotif ini nantinya kembali akan dilimpahkan ke Pengadilan di Stasiun Semarang, dan kemudian rangkaian kerena di bawah kendali Pengadilan akan menempuh perjalanan panjang menuju akhir perjalanan di Stasiun Surabaya di mana hakim Pengadilan akan memberikan Putusan atas perkara tersebut.

Jalur rel kereta api dari Gambir menuju Surabaya bisa melalui 2 jalur yaitu jalur utara melalui Semarang yang lebih singkat dan jalur selatan melalui Bandung yang lebih panjang. Jadi, marilah kita sama-sama turut serta menggiring/ mengarahkan supaya rangkaian kereta berjalan melalui jalur yang lebih singkat.

Jangan kita bawa ke jalur yang memakan waktu lebih lama, dan jangan pula kita giring rangkaian kereta api ini menuju ke jalur yang salah ke arah Serpong menuju tujuan akhir ke Merak sehingga kereta tidak akan sampai ke tujuan akhir yang sebenarnya di Stasiun Surabaya.

Marilah sama-sama kita giring kasus ini dengan benar dan peradilan dilakukan dengan menganut azas peradilan yang cepat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, nantinya akan segera diketahui siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam suatu peradilan yang terbuka untuk umum.

Nantinya kita bisa turut memantau secara langsung sehingga akan ketahuan keterangan saksi mana yang benar. Apakah ada unsure rekayasa, dan lain-lain mengingat dalam persidangan para saksi dan terdakwa akan memerikan keterangan di bawah sumpah dan akan dipertanggungjawabkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Berbeda dengan pemberian keterangan dalam BAP yang dilakukan secara tertutup dan tanpa disumpah.

Dalam sejarah dunia hukum di Indonesia, kasus pidana yang menimpa pimpinan sebuah lembaga Negara seperti yang dialami oleh 2 pimpinan KPK ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Beberapa tahun yang lalu seorang pimpinan Komisi Yudisial yang juga bekas pejabat tinggi di Kejaksaan juga pernah terlibat dalam kasus tindak pidana penyuapan dan saat ini yang bersangkutan masih mendekam di balik jeruji penjara karena telah divonis bersalah oleh Pengadilan. Namun, yang membedakan dengan kasus yang menimpa Pimpinan KPK adalah pada saat itu tidak terjadi polemik dan tidak terdapat dukungan yang sangat besar dari berbagai pihak terhadap seorang Pimpinan Komisi Yudisial tersebut.

Semoga opini saya ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dan mohon dimaklumi apabila masih terdapat banyak kekurangan. Apabila ada penerapan teori dan peraturan yang salah saya mohon maaf sebesar-besarnya dan sekali lagi mohon dimaklumi karena bukanlah seorang ahli hukum. Melainkan hanyalah seorang praktisi hukum yang berusaha memberikan opini berdasarkan teori yang pernah saya dapatkan di bangku kuliah disinergiskan dengan praktek hukum yang pernah saya alami sendiri sebagai advokat.

Hendro Wibowo
Jl Sedap Malam No 39 Bandung
final.fortuner@gmail.com



(msh/msh)

http://m.detik.com

0 komentar:

Posting Komentar